Selasa, 21 Januari 2025

Penunggu Buku Terakhir


cr: pinterest

Di sebuah perpustakaan tua yang hampir dilupakan waktu, ada sebuah ruangan tersembunyi di lantai paling bawah. Tidak ada yang tahu tentang ruangan itu, kecuali seorang pustakawan bernama Kalya. Ia adalah penjaga terakhir perpustakaan itu, dan ia memiliki satu tugas penting: melindungi "Buku Terakhir."

Buku itu tidak seperti buku lainnya. Sampulnya hitam legam tanpa judul, dan halamannya kosong, tetapi konon buku itu memiliki kekuatan untuk menulis takdir siapa pun yang membukanya. Kalya selalu memastikan bahwa buku itu terkunci rapat di balik lemari kaca yang hanya bisa ia buka.

Suatu hari, seorang pemuda bernama Dimas datang ke perpustakaan. Ia terlihat putus asa, membawa banyak beban di wajahnya. Ia mencari sesuatu yang tidak ia temukan di dunia luar—sebuah jawaban atas hidupnya yang penuh kegagalan.

“Apakah kau tahu tentang buku yang bisa mengubah nasib?” tanya Dimas dengan nada penuh harap.

Kalya tertegun. Hanya sedikit orang yang tahu legenda tentang "Buku Terakhir." Dengan hati-hati, ia bertanya, “Apa yang kau cari dalam hidupmu, anak muda?”

“Sebuah awal baru,” jawab Dimas. “Aku ingin menghapus semua kesalahan yang pernah kulakukan.”

Kalya memandang pemuda itu dengan mata penuh pertimbangan. Setelah lama berpikir, ia memutuskan untuk membiarkan Dimas melihat buku itu, tetapi dengan satu peringatan: “Jika kau membuka buku ini, kau harus siap menerima konsekuensinya. Apa pun yang kau tulis tidak bisa diubah.”

Dimas mengangguk tanpa ragu. Kalya membawa pemuda itu ke ruangan tersembunyi dan membuka lemari kaca. Buku itu tampak berkilau samar di bawah cahaya lilin, seolah menyimpan kekuatan besar.

Dengan tangan gemetar, Dimas membuka buku itu. Ia melihat halaman kosong yang seakan menantangnya untuk menulis. Di atas meja, ada sebuah pena kecil yang terbuat dari emas.

“Pikirkan baik-baik,” Kalya memperingatkan. “Buku ini bukan tentang menghapus, melainkan tentang memilih. Apa yang kau tulis akan menjadi hidupmu, dan apa yang kau tinggalkan akan hilang selamanya.”

Dimas menatap halaman kosong itu lama sekali. Dalam pikirannya, ia melihat semua kegagalan yang ingin ia perbaiki—kesempatan yang ia sia-siakan, orang-orang yang ia sakiti, dan mimpi yang ia abaikan. Tetapi, semakin ia memikirkan masa lalu, ia mulai menyadari sesuatu.

Ia tidak ingin menghapus semuanya. Kesalahan-kesalahan itu, meski menyakitkan, adalah bagian dari siapa dirinya sekarang. Jika ia menghapus semuanya, ia mungkin tidak akan menjadi dirinya yang sekarang, seseorang yang akhirnya menyadari betapa berharganya hidup.

Dengan air mata mengalir di pipinya, Dimas meletakkan pena itu. Ia menutup buku itu dengan lembut dan berkata, “Aku tidak perlu menulis apa pun. Takdirku adalah milikku untuk diciptakan, bukan untuk ditulis di sini.”

Kalya tersenyum bangga. “Kau telah membuat pilihan yang bijak. Tidak banyak yang bisa melakukannya.”

Sejak malam itu, Dimas meninggalkan perpustakaan dengan hati yang lebih ringan. Ia berjanji untuk tidak lagi menyesali masa lalunya, melainkan belajar darinya. Sementara itu, Kalya kembali menjaga "Buku Terakhir," yakin bahwa buku itu tetap aman hingga saatnya tiba untuk penguji berikutnya.


0 comments:

Posting Komentar