Selasa, 21 Januari 2025

Kota yang Hilang dalam Waktu

cr: pinterest

Di sebuah lembah yang dikelilingi pegunungan tinggi, ada sebuah kota bernama Eldra yang tidak pernah berubah. Waktu di kota itu berjalan sangat lambat, hampir seperti membeku. Penduduknya selalu muda, bangunan-bangunannya tak pernah rapuh, dan bunga-bunganya selalu bermekaran sepanjang tahun.

Namun, ada satu aturan yang harus dipatuhi: tidak ada seorang pun yang boleh meninggalkan kota. Barang siapa mencoba, mereka akan kehilangan ingatan tentang tempat itu, bahkan tentang diri mereka sendiri.

Seorang pemuda bernama Kian selalu merasa gelisah di kota itu. Meski semua tampak sempurna, ia merasakan sesuatu yang salah. "Kenapa kita tidak boleh pergi? Apa yang ada di luar sana?" tanyanya berulang kali pada orang-orang di sekitarnya, tetapi mereka selalu menjawab dengan senyuman datar.

“Di luar sana hanya ada kehancuran,” kata seorang tetua kota suatu hari. “Kita diberkati bisa tinggal di Eldra. Tidak ada yang perlu kau cari di luar.”

Namun, rasa penasaran Kian terus tumbuh. Suatu malam, ia diam-diam meninggalkan rumahnya dan berjalan menuju gerbang besar di ujung kota. Gerbang itu terbuat dari emas, dihiasi ukiran waktu yang membeku. Kian mendorongnya perlahan, dan dengan suara berderit, gerbang itu terbuka.

Saat ia melangkah keluar, dunia di luar kota terasa sangat berbeda. Angin bertiup kencang, pepohonan bergerak, dan waktu seakan berlari lebih cepat. Kian merasa tubuhnya berubah—kulitnya mulai menua, rambutnya memutih, dan pikirannya terasa berat.

Di tengah kebingungannya, ia bertemu dengan seorang wanita tua yang tampak mengenalinya.

“Kian... akhirnya kau kembali,” kata wanita itu dengan suara serak.

“Aku tidak mengenalmu,” jawab Kian. “Aku baru saja meninggalkan Eldra.”

Wanita itu tersenyum sedih. “Eldra bukanlah tempat yang nyata. Itu adalah penjara waktu yang diciptakan untuk melindungi kita dari kenyataan. Setiap orang yang tinggal di sana memilih melupakan dunia luar, melupakan rasa sakit, dan hidup dalam ilusi keabadian.”

Kian tertegun. “Jadi, semuanya bohong?”

“Tidak sepenuhnya,” jawab wanita itu. “Kota itu memberikan kedamaian, tapi mengorbankan kebebasan. Kau memilih meninggalkan semua itu, dan kini kau kembali ke dunia yang sebenarnya.”

Kian merasa tubuhnya semakin berat. Ia melihat bayangannya di sebuah genangan air—seorang pria tua yang nyaris tak ia kenali.

“Apa yang terjadi padaku?” tanya Kian.

“Waktu yang kau tinggalkan di Eldra kini mengejarmu,” kata wanita itu. “Tapi jangan takut. Meski hidup ini singkat, rasa sakit dan kebahagiaan yang kau rasakan di sini adalah nyata. Itu adalah harga dari kebebasan.”

Kian akhirnya memahami segalanya. Ia memutuskan untuk menghadapi hidup dengan segala tantangannya, menikmati setiap detik yang ia miliki. Ia tahu bahwa hidupnya di dunia nyata mungkin singkat, tetapi setidaknya ia benar-benar hidup.

Di Eldra, penduduknya tetap melanjutkan hidup tanpa perubahan, tanpa sadar bahwa salah satu dari mereka telah memilih jalan yang berbeda—jalan yang penuh dengan keindahan dan kesulitan waktu yang nyata.


0 comments:

Posting Komentar