Selasa, 04 Februari 2025

Sang Penjelajah Dimensi

cr: pinterest

Ada seorang pemuda bernama Kael, yang tinggal di sebuah desa kecil di tepi gunung. Kael selalu merasa ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Ia sering bermimpi tentang tempat-tempat aneh—langit ungu dengan tiga bulan, kota terapung di atas lautan kaca, hingga hutan dengan pohon-pohon yang daunnya berbentuk bintang.

Suatu malam, ketika ia tengah duduk di tepi tebing memandangi bintang, sebuah cahaya terang muncul di hadapannya. Dari dalam cahaya itu, keluar sebuah benda kecil berbentuk kompas, tapi jarumnya tidak mengarah ke utara. Sebaliknya, jarum itu terus berputar-putar seolah mencari sesuatu.

“Kael…” sebuah suara dalam pikirannya berbicara. “Kau telah dipilih.”

“Dipilih? Untuk apa?” tanya Kael bingung.

“Untuk menjadi Penjelajah Dimensi. Kau adalah satu dari sedikit orang yang memiliki kemampuan melintasi dunia-dunia yang tersembunyi. Kompas ini akan membimbingmu.”

Tanpa peringatan, jarum kompas berhenti dan mulai bersinar. Sebuah portal muncul di hadapan Kael, berputar seperti pusaran air. Tanpa ragu, Kael melangkah masuk.

Ia tiba di sebuah dunia yang luar biasa. Langitnya dipenuhi pulau-pulau melayang, dan air terjun mengalir dari satu pulau ke pulau lainnya. Makhluk-makhluk unik dengan tubuh transparan beterbangan, seperti campuran ikan dan burung.

Kael bertemu dengan seorang wanita tua berjubah, yang menyebut dirinya sebagai Penjaga Dimensi. “Setiap dunia memiliki harmoni. Tugasmu, Kael, adalah menjaga keseimbangan itu. Namun, perjalananmu tidak akan mudah. Ada makhluk-makhluk dari dimensi gelap yang ingin menghancurkan keseimbangan ini.”

Sebelum Kael bisa bertanya lebih banyak, dunia itu mulai bergetar. Dari langit, muncul bayangan besar dengan mata merah menyala. Itu adalah Krowal, makhluk penghancur dimensi.

“Kael, gunakan kompasmu!” seru sang Penjaga.

Kael membuka kompas itu, dan cahaya biru keluar, membentuk pedang di tangannya. Dengan keberanian yang muncul entah dari mana, Kael melawan Krowal. Pergerakannya terasa alami, seolah-olah ia telah terlatih untuk ini seumur hidupnya.

Setelah pertempuran sengit, Kael berhasil mengalahkan Krowal. Dunia itu kembali damai, dan para makhluk unik kembali beterbangan dengan riang.

Penjaga Dimensi mendekatinya. “Kau telah menyelesaikan tugas pertamamu, Kael. Namun, perjalananmu baru saja dimulai. Banyak dimensi lain yang membutuhkanmu.”

Kael mengangguk. Ia tidak lagi merasa seperti pemuda biasa dari desa kecil. Ia kini seorang Penjelajah Dimensi, penjaga keseimbangan antar dunia.

Dengan kompas di tangan, ia melangkah ke portal berikutnya, siap menghadapi apa pun yang ada di sisi lain.


Kota di Awan

 

cr: pinterest

Di sebuah dunia yang tersembunyi dari pandangan manusia, terdapat sebuah kota yang melayang di atas awan. Kota itu disebut Nebulora, tempat di mana hanya mereka yang memiliki hati murni bisa tinggal. Bangunan-bangunannya terbuat dari kristal bercahaya, jalanannya dari uap yang padat, dan langitnya selalu dihiasi oleh pelangi yang tak pernah pudar.

Di antara penghuni Nebulora, ada seorang anak bernama Aran. Aran berbeda dari penduduk lain karena ia berasal dari dunia bawah, dunia manusia. Suatu malam, ia terbangun di atas hamparan awan, tanpa ingat bagaimana ia sampai di sana.

“Selamat datang, Aran,” sebuah suara lembut menyapanya.

Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita bersayap, mengenakan jubah panjang yang tampak seperti anyaman cahaya bintang.

“Siapa kamu?” tanya Aran bingung.

“Aku adalah Penjaga Nebulora,” jawab wanita itu. “Kota ini adalah rumah bagi mereka yang hatinya penuh kebaikan. Kau telah dipilih untuk berada di sini karena keberanianmu.”

Aran tidak mengerti. Ia hanya seorang anak biasa, tanpa kekuatan atau keistimewaan. “Keberanian? Apa maksudmu?”

Penjaga itu tersenyum. “Ketika badai besar melanda desamu, kau menolong seorang gadis kecil yang tersesat, meski kau sendiri ketakutan. Tindakan kecil itu membuktikan hatimu yang tulus.”

Aran mulai mengingat. Ia memang membantu seorang gadis kecil selama badai itu, tapi ia tidak pernah mengira hal itu berarti besar.

“Namun, kau belum sepenuhnya menjadi bagian dari kota ini,” lanjut sang Penjaga. “Ada satu tugas terakhir. Di Nebulora, kami memiliki Taman Harapan, tempat di mana mimpi-mimpi dunia manusia ditanam. Tugasmu adalah memilih satu mimpi untuk diwujudkan.”

Penjaga membawa Aran ke sebuah taman indah yang dipenuhi bunga bercahaya. Setiap bunga mewakili sebuah mimpi dari dunia manusia. Ada mimpi tentang kebahagiaan, perdamaian, cinta, dan kesuksesan. Tapi di sudut taman, ada sebuah bunga kecil yang hampir layu.

“Mimpi itu…” kata Aran sambil menunjuk bunga yang hampir mati.

“Itu adalah mimpi seorang anak yang ingin ibunya sembuh dari penyakitnya,” jawab sang Penjaga. “Tapi dunia manusia sering melupakan mimpi-mimpi kecil seperti itu. Jika kau memilih mimpi ini, kau harus kembali ke dunia manusia untuk mewujudkannya.”

Aran menatap bunga itu dengan perasaan campur aduk. Ia menyadari bahwa jika ia memilih mimpi itu, ia tidak akan bisa tinggal di Nebulora lagi.

“Aku memilih bunga itu,” kata Aran akhirnya. “Tidak apa-apa jika aku tidak bisa tinggal di sini. Aku ingin mimpi anak itu menjadi nyata.”

Senyum hangat terukir di wajah sang Penjaga. “Pilihanmu menunjukkan siapa dirimu, Aran. Kau mungkin harus meninggalkan kota ini, tapi hatimu akan selalu menjadi bagian dari Nebulora.”

Saat Aran menyentuh bunga itu, ia merasakan tubuhnya perlahan-lahan melayang kembali ke dunia manusia. Ketika ia terbangun, ia berada di tempat tidurnya. Namun, ada sesuatu di tangannya—sebutir benih kecil bercahaya.

Dengan hati-hati, ia menanam benih itu di taman belakang rumahnya. Tak lama, benih itu tumbuh menjadi bunga bercahaya yang indah. Dan tak jauh dari sana, kabar baik datang—seorang ibu di desanya yang sakit parah mulai menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.

Aran tidak pernah kembali ke Nebulora, tapi ia tahu bahwa kota itu selalu ada di atas awan, menunggu orang-orang berhati murni seperti dirinya untuk melanjutkan keajaiban dunia.


Hutan Berbisik

 

cr: pinterest

Di pinggir sebuah desa kecil, terdapat hutan yang oleh penduduk setempat disebut sebagai "Hutan Berbisik". Konon, hutan itu bukan hanya rumah bagi pepohonan tua dan binatang liar, tetapi juga menjadi tempat tinggal makhluk-makhluk gaib yang hanya bisa didengar jika kau benar-benar percaya.

Lana, seorang gadis berumur 13 tahun, selalu penasaran dengan cerita itu. Sejak kecil, ia sering mendengar desas-desus bahwa jika kau masuk ke tengah hutan saat bulan purnama, kau bisa berbicara dengan suara hutan dan mengajukan satu permintaan.

Suatu malam, ketika bulan bersinar terang di langit, Lana memutuskan untuk pergi ke hutan. Ia membawa lentera kecil dan sebuah buku kosong, berharap jika ia bertemu sesuatu, ia bisa mencatat semuanya.

Semakin dalam ia melangkah, suara-suara hutan mulai berubah. Bukan hanya suara angin yang menggerakkan daun, tetapi bisikan lembut yang memanggil namanya.

“Lana… Lana…”

Gadis itu berhenti dan melihat sekeliling, namun tak ada siapa pun. Namun, anehnya, ia tidak merasa takut.

“Siapa di sana?” tanyanya dengan suara gemetar.

Dari balik pohon besar, muncul sesosok makhluk kecil bersinar, mirip peri dengan sayap transparan. Wajahnya manis, namun sorot matanya penuh kebijaksanaan.

“Kau telah datang pada malam yang tepat,” kata makhluk itu dengan suara melodius. “Apa yang kau cari, Lana?”

Lana terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Namun, ia memutuskan untuk jujur. “Aku ingin tahu rahasia Hutan Berbisik. Kenapa tempat ini begitu istimewa?”

Makhluk kecil itu tersenyum. “Hutan ini istimewa karena mendengar harapan setiap makhluk yang melewati batasnya. Tapi hanya mereka yang benar-benar percaya yang dapat memahami rahasia kami.”

Tiba-tiba, udara di sekitar mereka dipenuhi cahaya-cahaya kecil. Ratusan makhluk serupa muncul, mengelilingi Lana. Mereka menari di udara, menciptakan pola-pola indah.

“Kami adalah Penjaga Harapan,” lanjut sang makhluk. “Setiap pohon di sini menyimpan harapan dari seseorang di dunia ini. Jika kau menanam harapanmu di sini, ia akan tumbuh dan menjadi bagian dari kekuatan alam.”

Lana merasa takjub. “Apakah aku bisa menanam harapanku?”

“Tentu saja. Tapi ingat, harapanmu harus murni dan tulus.”

Lana memejamkan mata dan memikirkan satu hal yang benar-benar ia inginkan: kebahagiaan untuk semua orang di desanya. Ia membayangkan senyum mereka, tawa mereka, dan kehidupan yang damai.

Ketika ia membuka mata, sebuah benih kecil berkilau ada di tangannya. Dengan hati-hati, ia menanam benih itu di tanah. Cahaya dari benih itu menyebar, membuat seluruh hutan bersinar seperti siang hari.

“Harapanmu akan tumbuh kuat,” kata sang Penjaga Harapan. “Dan ingat, Lana, setiap harapan yang tulus akan selalu menemukan jalannya.”

Ketika fajar tiba, Lana kembali ke desanya. Hutan di belakangnya tampak seperti biasa, tetapi di dalam hatinya, ia tahu rahasia besar telah ia pelajari. Dan sejak hari itu, kehidupan di desa kecil itu berubah—lebih damai, lebih penuh cinta, seolah-olah harapan Lana benar-benar tumbuh dan menguat.


Sabtu, 01 Februari 2025

Sungai Waktu

cr: pinterest

Di sebuah desa yang tersembunyi di lembah berkabut, terdapat sebuah sungai yang berbeda dari sungai biasa. Airnya tidak mengalir ke hilir, melainkan berputar seolah waktu di dalamnya berulang tanpa henti. Orang-orang desa menyebutnya Sungai Waktu, dan mereka percaya bahwa siapa pun yang menyentuh airnya bisa melihat masa lalu atau masa depan.

Alya, seorang gadis berusia 15 tahun, selalu penasaran dengan sungai itu. Sejak kecil, ia sering mendengar cerita tentang orang-orang yang melihat kehidupan mereka di masa depan, atau bahkan berbicara dengan leluhur mereka yang telah tiada. Namun, tak seorang pun berani menyentuh airnya terlalu lama—takut terperangkap di dalam waktu.

Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang, Alya memberanikan diri pergi ke sungai. Ia ingin mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya yang menghilang bertahun-tahun lalu. Dengan hati-hati, ia merendam tangannya ke dalam air yang dingin.

Sekejap, dunia di sekelilingnya berubah. Ia bukan lagi di tepi sungai, melainkan di tempat lain—hutan yang asing, dengan bayangan-bayangan hitam yang bergerak di antara pepohonan.

Lalu, ia melihatnya.

Ayahnya berdiri di tengah hutan, mengenakan jubah abu-abu dengan simbol aneh di dadanya. Ia tidak terlihat tua, seolah waktu tidak menyentuhnya sama sekali.

"Alya…" suara ayahnya menggema di udara. "Kau tidak seharusnya ada di sini."

"Ayah! Di mana ayah selama ini?" seru Alya.

Sebelum ayahnya bisa menjawab, bayangan hitam itu bergerak cepat, mendekat dengan mata merah menyala.

"Alya! Keluar dari sini sekarang!" teriak ayahnya.

Alya tersentak dan menarik tangannya dari air. Ia kembali ke tepi sungai, napasnya memburu.

Namun, tangannya kini memegang sesuatu—sepotong kain dari jubah ayahnya.

Sungai itu bukan hanya memperlihatkan masa lalu. Ia telah membuka pintu menuju sesuatu yang lebih besar. Dan sekarang, Alya tahu bahwa ia harus menemukan ayahnya… sebelum sesuatu yang lain menemukannya lebih dulu.

Misteri

cr:pinterest

Di dunia yang jauh di atas awan, tersembunyi sebuah kota yang tak terlihat oleh manusia biasa. Kota itu melayang di antara kabut tebal, dengan menara-menara kristal yang berkilauan dan jalanan yang terbuat dari cahaya. Penduduknya adalah makhluk bersayap, para penjaga langit yang telah ada sejak awal waktu.

Suatu hari, seorang anak manusia bernama Arka tanpa sengaja menemukan jalan menuju kota itu. Ia sedang bermain di bukit dekat rumahnya ketika tiba-tiba badai aneh muncul. Angin menggulung awan menjadi pusaran, dan sebelum Arka bisa lari, ia tersedot ke dalamnya.

Ketika ia membuka mata, ia sudah berada di kota yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Langitnya bukan biru, melainkan keemasan. Udara terasa ringan, dan setiap langkahnya seolah melayang.

Seorang perempuan bersayap perak menyambutnya.

"Kau tidak seharusnya ada di sini," katanya lembut. "Kota ini hanya untuk para penjaga langit."

"Tapi aku tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini," jawab Arka, kebingungan.

Perempuan itu menatapnya dalam-dalam. "Mungkin… kau adalah satu dari kami."

Arka terkejut. Bagaimana mungkin? Ia hanya anak biasa. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, guntur menggelegar di kejauhan.

"Kita tidak punya banyak waktu," kata perempuan itu. "Jika kau memang salah satu dari kami, maka kau harus membuktikannya. Langit sedang runtuh, dan hanya pewaris sejati yang bisa menyelamatkan kota ini."

Arka tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi ketika ia menatap tangannya, sesuatu yang aneh terjadi—cahaya mulai menyelimuti tubuhnya. Ia merasa lebih ringan, lebih kuat… seolah-olah ia memang dilahirkan untuk berada di sini.

Saat itulah ia menyadari: mungkin rumahnya memang bukan di bumi, melainkan di antara bintang-bintang.

Rumah tua

cr: pinterest

Doni baru saja pindah ke rumah kontrakan tua di pinggiran kota. Rumah itu murah, terlalu murah untuk ukuran rumah sebesar itu, tapi Doni tak mau berpikir macam-macam.

Malam pertama berjalan biasa saja, hingga menjelang pukul 2 pagi. Saat sedang tertidur, suara creeek… terdengar dari ruang tengah. Seperti suara engsel pintu yang terbuka pelan.

Doni terbangun, jantungnya berdegup kencang. Ia bangun dan mengintip ke luar kamar.

Benar. Pintu ruang tamu yang tadi sudah ia kunci… kini terbuka sedikit.

Doni menelan ludah. Mungkin angin, pikirnya. Ia pun menutup pintu itu kembali dan memastikan terkunci.

Namun, malam berikutnya, hal yang sama terjadi. Pintu itu kembali terbuka, tepat pukul 2 pagi.

Rasa takut mulai menjalar di tubuhnya. Kali ini, ia memutuskan untuk berjaga. Dengan ponsel di tangan, ia duduk di sofa menunggu hingga tengah malam.

Pukul 1:59, suasana hening.

Pukul 2:00, suara creeek… terdengar lagi.

Doni membelalak. Pintu itu terbuka pelan, meski tidak ada seorang pun di sana.

Ia segera mengangkat ponselnya, merekam kejadian itu. Namun, saat melihat layar, keringat dinginnya mengalir deras.

Di layar, ada sosok samar berdiri di balik pintu, menatapnya.

Namun, saat Doni menatap langsung ke pintu… sosok itu tidak ada.

Lampu tiba-tiba padam.

Doni tak pernah keluar dari rumah itu lagi. Namun, setiap penghuni baru yang datang selalu mengalami hal yang sama—pintu ruang tamu yang terbuka sendiri pada pukul 2 pagi.

Belakang

cr: pinterest

Rudi adalah seorang supir taksi online yang sering mengambil penumpang hingga larut malam. Suatu malam, sekitar pukul 2 pagi, ia menerima pesanan dari seorang wanita di jalan sepi dekat pemakaman kota.

Ketika ia tiba, wanita itu sudah berdiri di tepi jalan, mengenakan gaun putih panjang. Wajahnya tertutup rambut, dan ia bergerak dengan lamban sebelum akhirnya masuk ke mobil.

“Ke mana, Bu?” tanya Rudi sambil melihat kaca spion.

“Ke rumah,” jawab wanita itu dengan suara pelan.

Rudi merasa ada sesuatu yang aneh, tapi ia tidak ingin bersikap kasar. Ia mulai menyetir, mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman yang mulai merayap di punggungnya.

Sepanjang perjalanan, wanita itu tetap diam. Namun, semakin lama, Rudi merasa udara di dalam mobil menjadi dingin. Ia melirik kaca spion dan terkejut—wanita itu sekarang duduk dengan kepala tertunduk, tangannya mencengkeram gaunnya erat, seolah sedang menahan sesuatu.

Ketika Rudi melewati tikungan, ia mendengar suara pelan dari bangku belakang.

“Pak... Jangan lihat ke belakang.”

Jantung Rudi hampir berhenti.

Ia mencengkeram setir lebih kuat. Kakinya gemetar di pedal gas. Ia menatap lurus ke depan, mencoba fokus.

Namun, rasa ingin tahu menguasainya. Perlahan, ia melirik kaca spion lagi.

Wanita itu sekarang menatapnya langsung. Matanya kosong, wajahnya pucat membiru, dan mulutnya terbuka lebar seakan berteriak, meski tanpa suara.

Lampu di jalan tiba-tiba padam.

Mobil ditemukan keesokan harinya, menabrak pohon di tepi jalan. Kursi pengemudi kosong.

Namun, setiap malam, ada laporan dari pengemudi lain bahwa mereka melihat sebuah taksi dengan mesin menyala, berhenti di dekat pemakaman. Jika seseorang cukup berani untuk melihat ke dalam… mereka mungkin akan menemukan sosok yang duduk diam di bangku belakang, menatap mereka melalui kaca spion.

Lift


cr: pinterest


Maya baru pulang dari lembur. Kantornya berada di lantai 25, dan hanya ada satu lift yang masih berfungsi di gedung tua itu. Sudah hampir tengah malam, dan semua orang sudah pulang.  


Saat pintu lift terbuka, ia melangkah masuk dan menekan tombol Lobi. Pintu tertutup, dan lift mulai bergerak turun.  


Namun, saat melewati lantai 20, lift tiba-tiba berhenti. Lampu berkedip sebentar, lalu pintu terbuka perlahan.  


Di depan Maya, lorong lantai 20 tampak kosong. Tidak ada suara, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Namun, di ujung lorong, seorang wanita berdiri membelakanginya. Rambutnya panjang menutupi wajah, dan tubuhnya tidak bergerak sama sekali.  


Jantung Maya berdetak kencang.  


*"Mungkin hanya pegawai lain yang masih lembur,"* pikirnya.  


Ia buru-buru menekan tombol tutup, tetapi lift tidak merespons.  


Wanita itu perlahan mulai melangkah ke arah lift. Gerakannya aneh, kaku, seperti tidak berjalan dengan kaki, tetapi melayang mendekat.  


Maya panik, menekan tombol-tombol lain dengan gemetar.  


Pintu lift akhirnya tertutup tepat saat wanita itu hampir masuk. Maya menarik napas lega. Lift kembali bergerak turun.  


Namun, di cermin lift, bayangan wanita itu kini berdiri tepat di belakangnya.  


Seketika, lampu lift padam.  


Maya tidak pernah ditemukan.  


Namun, setiap malam, lift di gedung itu selalu berhenti di lantai 20. Pintu terbuka, seolah menunggu seseorang untuk masuk.

Pesan Terakhir

cr: pinterest

Arman adalah seorang editor berita yang sering pulang larut malam. Suatu malam, dalam perjalanan pulang, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal.

"Jangan pulang. Dia menunggumu di sana."

Arman mengernyit. Pikirannya langsung menganggap ini lelucon, mungkin dari teman kantornya yang iseng. Ia mengabaikan pesan itu dan melanjutkan perjalanan.

Namun, saat ia mendekati apartemennya, perasaan aneh mulai menyelimutinya. Ada sesuatu yang terasa… salah. Lampu jalan di dekat gedungnya berkedip-kedip, dan udara malam terasa lebih dingin dari biasanya.

Tepat sebelum ia membuka pintu apartemen, ponselnya kembali bergetar.

"Aku sudah bilang, jangan masuk. Dia tahu kamu datang."

Arman menelan ludah. Ia menoleh ke sekeliling, tetapi lorong apartemennya kosong. Dengan tangan gemetar, ia memberanikan diri membuka pintu.

Gelap.

Saat ia melangkah masuk dan menyalakan lampu, jantungnya hampir berhenti.

Di sofa, seseorang sedang duduk. Sosok itu membelakanginya, tubuhnya kaku, seperti mayat yang sudah lama ditinggalkan.

Arman hendak berlari keluar ketika ponselnya bergetar sekali lagi.

"Terlambat. Dia sudah melihatmu."

Tiba-tiba, kepala sosok itu berputar… bukan dengan cara yang manusiawi. Dengan suara berderak, wajahnya kini menghadap Arman—wajah yang identik dengannya sendiri.

Sebelum Arman bisa menjerit, lampu kembali padam.

Apartemen itu sunyi kembali. Hanya ada satu pesan baru yang terkirim dari ponselnya.

"Jangan pulang. Dia menunggumu di sana."

Suara dari Dalam Dinding


cr: pinterest

Rina baru saja pindah ke apartemen kecil di pusat kota. Malam pertamanya terasa biasa saja, hingga saat tengah malam, dia mendengar suara samar dari dalam dinding. Seperti bisikan.

Awalnya, Rina mengira itu hanya suara pipa atau tikus, tapi setiap malam suara itu semakin jelas.

"Tolong… Aku di sini…"

Rina merinding. Suara itu terdengar putus asa, seperti berasal dari seseorang yang terjebak.

Suatu malam, dia memberanikan diri menempelkan telinganya ke dinding. Saat itu juga, sesuatu mengetuk dari dalam.

Dug! Dug! Dug!

Rina melonjak mundur, jantungnya berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel dan menyalakan senter. Dinding itu tampak retak.

Didorong oleh rasa penasaran dan ketakutan, Rina mengambil obeng dan mulai mengikis bagian yang rapuh. Retakan itu melebar, dan sesuatu yang mengerikan muncul—sepasang mata kosong yang membusuk menatapnya dari balik dinding.

Seketika, suara lirih terdengar lagi.

"Kamu menemukanku… Sekarang, kamu menggantikanku…"

Lampu apartemen berkedip, dan sebelum Rina bisa berteriak, kegelapan menelannya.

Keesokan harinya, apartemen itu sunyi. Tak ada tanda-tanda keberadaan Rina. Namun, jika seseorang menempelkan telinga ke dinding… mereka mungkin akan mendengar suara bisikan baru.

Selasa, 21 Januari 2025

Buku Hitam

cr: pinterest

Pagi itu, Maya terbangun dengan rasa bingung. Jam menunjukkan pukul 6 pagi, tetapi dia merasa baru tidur beberapa jam yang lalu. Lantai kamar tidur terasa dingin, dan suasana sepi, hanya terdengar desiran angin dari celah-celah jendela. Ketika ia menoleh ke samping tempat tidurnya, ada sebuah benda kecil di atas meja samping tempat tidur yang tidak dikenalnya—sebuah buku hitam dengan sampul kulit yang kusam.

Maya merasa aneh karena dia pasti tidak meletakkan buku itu di sana. Dengan rasa penasaran yang menggerogoti, dia membuka buku itu perlahan. Halaman pertama penuh dengan tulisan tangan yang sangat rapat dan kacau. Semakin dia membaca, semakin jelas bahwa ini bukanlah buku biasa—tulisan itu mengisahkan kejadian-kejadian aneh yang sepertinya belum terjadi, namun dengan detail yang sangat tepat, bahkan hingga hal-hal terkecil dalam hidupnya.

Ada satu bagian yang menarik perhatian Maya. Di halaman terakhir buku itu, ada sebuah kalimat yang tampak seperti peringatan:

"Jika kamu membaca ini, kamu telah terpilih untuk mengakhiri ritual. Kamu tidak bisa berhenti membaca. Jangan menoleh ke belakang."

Rasa takut mulai merayap dalam diri Maya, tetapi penasaran membuatnya terus membaca. Halaman demi halaman ia terbalikkan, dan setiap kejadian yang tertulis di buku itu seolah terjadi di kehidupan nyata—tahapan demi tahapan, detail-detail yang terjadi dalam hidupnya, bahkan percakapan yang baru saja terjadi dengan teman-temannya.

Namun, ada satu bagian yang menakutkan. Di halaman yang hampir terakhir, tertera tulisan:

"Setelah kamu sampai di halaman ini, tidak ada lagi yang bisa mengubah takdir. Kamu akan menemui mereka di malam hari."

Maya terhenti. Ketika dia membaca kalimat itu, tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang bergerak di sudut matanya, di dalam bayang-bayang kamar yang gelap. Perlahan, dia menoleh, dan matanya tertumbuk pada bayangan gelap di pojok ruangan. Sebuah sosok tinggi berdiri di sana, tidak bergerak, hanya menatapnya dengan mata yang tak terlihat.

Rasa dingin menyelimuti tubuh Maya. Lalu, suara berbisik datang dari belakangnya, terdengar sangat jelas, seakan berada tepat di telinganya.

"Kami sudah menunggumu."

Dengan panik, Maya berlari keluar kamar, namun buku hitam itu mengikuti jejak langkahnya, seolah terbang menuju tangan Maya tanpa bisa dihentikan. Dia merasa terjepit oleh sesuatu yang tak terlihat. Suara bisikan semakin keras dan semakin banyak. Sosok-sosok bayangan mulai muncul di seluruh sudut ruangan, bergerak perlahan menuju tubuhnya.

Maya ingin berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Rasa takut membuatnya hampir tak bisa bernapas. Dia terjatuh, dan buku itu jatuh terbuka di lantai, menampilkan halaman terakhir yang belum sempat ia baca.

Tertulis dengan jelas:

"Selamat datang di akhir cerita. Kami akan menuntut bayaran."

Dalam sekejap, ruangannya menjadi gelap total, dan suara langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Maya merasakan dirinya ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat, dan tak lama kemudian, tubuhnya menghilang dari dunia nyata.

Esok hari, ketika seorang teman Maya datang berkunjung, dia hanya menemukan buku hitam itu di atas meja samping tempat tidur—dan tidak ada jejak keberadaan Maya.

Buku itu kini kembali menunggu, siap untuk diterima oleh orang berikutnya yang terpilih.